Webinar “Mencari Indonesia-2: Dari Aceh Sampai Papua" pada Minggu (3/1/2021). Foto; Ist
UNIMALNEWS | Jakarta – Kampung Limasan Tanjung dan KIKA Aceh melaksanakan Webinar “Mencari Indonesia: Dari Aceh Sampai Papua” pada Minggu (3/1/2021). Kegiatan ini menurut pemrakarsanya Dr Riwanto adalah refleksi di awal tahun untuk mencari sikap intelektual dalam memandang Indonesia yang saat ini mengalami krisis yang bersifat multidimensional.
“Orang biasanya berupaya “menjadi Indonesia” dengan mengandaikan Indonesia yang sudah ada wujudnya, yang sudah berbentuk. Sementara dengan frasa “mencari Indonesia”adalah hasrat untuk mewujudkan Indonesia dari hal yang belum stabil, belum terbentuk,” ungkapnya.
Para pembicara dalam seminar daring ini adalah Teuku Kemal Fasya, dosen Antropologi FISIP Unimal dari Aceh; Marco Mahin dari Kalimantan Tengah; Eka Suaib dari Sulawesi Tengah; Pande K. Trimayuni dari Bali; Umbu Wulang Tanaamahu dari Sumba; dan Alfrida Yamanop dari Papua.
Sebagai pembicara pertama, Teuku Kemal Fasya menyatakan bahwa tema mencari Indonesia ini adalah tema yang tepat di tengah situasi Indonesia yang terus bergaduh, meskipun reformasi telah berjalan lebih dua dekade. “Namun menurut saya yang diundang di dalam pertemuan ini adalah orang yang memang telah menjadi Indonesia dengan seluruh dimensi enigmatiknya. Mungkin hanya orang di Jakarta atau elite-elite politik nasional yang masih mencari Indonesia dengan hasrat kuasa politik dan ekonomi mereka yang membuncah-buncah,”ungkapnya.
Menurut Kemal, masyarakat Indonesia pinggiran seperti masyarakat kepulauan atau non-Jawa sudah bisa menjadi Indonesia dan membentuk harmoni yang ideal, baik dalam pembangunan kerukunan antarumat beragama dan pengelolaan lingkungan. “Sayangnya masyarakat non-elite ini mudah dieksploitasi oleh pemodelan Indonesia dari kaum politikus dan elite intoleran, sehingga memenuhi ruang publik untuk mendikte Indonesia. Saya lihat masyarakat Papua dan Papua Barat, tempat yang baru kami kunjungi menunjukkan keluasan hati mereka dalam membangun kedamaian dan toleransi. Kita patut belajar dari mereka,” tambah Kemal.
Pembicara lainnya Marco Mahin menyatakan bahwa Indonesia yang kita bayangkan masih menjadi proyek yang belum selesai. “Indonesia yang ideal memang masih terus kita cari dan itu memerlukan kesungguhan kita semua, baik dalam membangun perilaku dan narasi yang baik yang bisa diingat oleh anak cucu kita,” ujar Marco.
Pembicara dari NTT Umbu Wulang Tanaamahu menyebutkan bahwa kekayaan lokal di Indonesia selama ini menjadi bagian dari perlintasan bangsa-bangsa dunia, baik dalam urusan ekonomi dan ilmu pengetahuan. “Kita punya banyak ahli anggrek, kerbau, rusa, tapi belum ada ahli komodo, bahkan juga di NTT sendiri. Padahal kita tahu bahwa pulau komodo telah masuk sebagai salah satu warisan alam dunia.
Menurut Umbu, Indonesia saat ini menghadapi krisis yang mendalam terhadap alam Indonesia. “Jika dulu nenek-nenek kita lebih menghargai alam dan melakukan pantangan yang kuat dalam menjaga alam, eh, malah di situasi agama-agama resmi semakin menggejela dengan kuat dalam kehidupan nasional, hutan dan alam kita semakin hancur. Kita semakin tidak terikat dengan alam,” tangkasnya.
Prof Suzie Sudarman dari Universitas Indonesia dalam komentarnya menyatakan diskusi kali ini menjadi tantangan atas pelbagai teori-teori pembentukan bangsa, yang mungkin harus dicari jalan untuk membingkainya. “Kita saat ini menghadapi masalah pengabaian Indonesia akibat penjajahan Orde Baru selama 32 tahun yang menjalankan proyek non-Indonesia. Agak aneh kita lihat, bagaimana orang Aceh membenci Jokowi padahal yang merusak Aceh adalah operasi militer selama Orde Baru,” pungkasnya.[ryn]